Warna Muda Media – Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan telah menjadi salah satu topik paling hangat dalam beberapa tahun terakhir. Presiden Jokowi memperkenalkan rencana ambisius ini dengan harapan membentuk pusat pemerintahan baru di tengah Indonesia. Namun, banyak pihak mempertanyakan keputusan tersebut, termasuk Ekonom Senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin.
Wijayanto Samirin berpandangan bahwa pemindahan ini lebih terlihat sebagai proyek pribadi presiden yang diikuti dengan justifikasi dari pihak-pihak terkait. Ada berbagai masalah dan risiko yang mengintai, mulai dari kurangnya investor hingga dampak ekonomi yang bisa memengaruhi masa depan bangsa.
Baca juga: Revisi UU Wantimpres: Jokowi Berperan di Pemerintahan Baru?
Benarkah IKN Cuma Proyek Presiden? Begini Pendapat Pakar Ekonomi
Ekonom senior dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengungkapkan pandangannya soal pemindahan ibu kota negara ke IKN (Ibu Kota Nusantara). Menurutnya, IKN bukan murni hasil kesepakatan seluruh rakyat Indonesia, seperti yang sering disampaikan Presiden Jokowi, melainkan lebih merupakan proyek yang diprakarsai oleh presiden sendiri. Hal ini, katanya, didukung dengan justifikasi dari DPR RI dan beberapa lembaga yang terkait.
Pemindahan Tanpa Analisis Mendalam
Wijayanto mengkritisi bahwa keputusan pemindahan ibu kota dilakukan tanpa melalui kajian mendalam atau feasibility study terlebih dahulu. Feasibility study baru dibuat setelah keputusan besar itu diputuskan, dan itu pun hanya fokus pada bagaimana cara memindahkannya, bukan pada pertanyaan mendasar seperti “perlu nggak sih ibu kota dipindah?” atau “ke mana seharusnya pindah?”. Saat diwawancara oleh Tempo pada akhir September 2024, ia menambahkan bahwa pernyataan-pernyataan Jokowi tentang IKN sering berubah-ubah, membuat kebijakan ini tampak kurang solid.
Investor Minim, Publik Skeptis
Salah satu kekhawatiran besar yang disampaikan Wijayanto adalah minimnya investor yang tertarik dengan proyek ini. Kondisi tersebut membuat masa depan IKN semakin tidak jelas. Fiskal negara sudah terbebani dengan proyek ini, dan di sisi lain, opini publik pun cenderung negatif. Tantangan lain yang dihadapi adalah memindahkan ASN (Aparatur Sipil Negara) ke IKN. Ini bukan hanya soal membangun infrastruktur, tapi juga bagaimana meyakinkan mereka agar mau tinggal di sana, termasuk dengan memberikan subsidi.
Selain itu, menurutnya, pemindahan ini dapat menciptakan inefisiensi dalam birokrasi yang pada akhirnya memperbesar biaya. Akibatnya, keputusan ini terkesan diambil dengan pola “reverse planning”, di mana rencana studi dibuat setelah keputusan dijalankan, yang pada akhirnya meningkatkan risiko dan ketidakpastian.
Baca juga: Trump Sindir Bantuan AS dan Puji Sejarah Militer Rusia.
Risiko APBN dan Dampak Ekonomi
Untuk melanjutkan proyek IKN, Wijayanto memperingatkan bahwa APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) bisa terus-menerus tersedot ke dalam proyek ini, yang tentunya berdampak buruk bagi perekonomian. Dalam situasi daya saing ekonomi Indonesia yang sudah tertinggal, memaksakan anggaran besar ke IKN hanya akan memperparah keadaan.
Ia juga menyinggung bahwa pemerintah sepertinya tidak pernah membuat analisis cost dan benefit secara komprehensif. Sehingga, jika sudah terlanjur berjalan, pemerintah hanya bisa menerapkan metode “cut loss” untuk meminimalkan kerugian. Inilah yang membuat proyek IKN dianggap sebagai “proyek pribadi presiden” yang hanya mencari justifikasi dari DPR.
Alternatif: Empower Kota-Kota Lain
Sebagai penutup, Wijayanto menyarankan bahwa daripada memaksakan pembangunan IKN, lebih baik dana tersebut dialokasikan untuk pengembangan kota-kota lain di seluruh Indonesia. Dengan begitu, pusat pertumbuhan ekonomi bisa tersebar lebih merata, dan Indonesia bisa memiliki lebih banyak kota global yang kompetitif. Ia berpendapat, memberikan arahan kepada banyak kota akan lebih efektif daripada hanya membangun satu kota baru di Kalimantan.
menarik, jadi banyak menimbulkan asumsi yang membingungkan.