DPR Cari Celah, Putusan MK Soal Pilkada Dipertanyakan


Warna Muda – Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengeluarkan putusan yang mengejutkan terkait syarat ambang batas pencalonan kepala daerah. Dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK memutuskan bahwa partai politik atau gabungan partai tidak lagi diwajibkan mengumpulkan 20% kursi di DPRD atau 25% suara sah untuk mengajukan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Namun, penting untuk dicatat bahwa putusan ini berbeda dengan putusan Mahkamah Agung (MA) sebelumnya. Peraturan yang diuji di kedua putusan ini berbeda. Putusan MA menguji Peraturan KPU terhadap UU Pemilu, sedangkan Putusan MK menguji UU Pemilu terhadap UUD.

Baca juga: Peluang Anies Baswedan Maju Bersama PDIP Terbuka

“Manuver” DPR di Balik Revisi UU Pilkada

Namun, langkah MK ini tak serta-merta diterima begitu saja oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Secara tiba-tiba, Badan Legislasi (Baleg) DPR menjadwalkan rapat pada Rabu, 21 Agustus 2024, untuk membahas revisi ketiga Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016. Rapat ini diduga bukan hanya menindaklanjuti putusan MK, melainkan juga mencari celah untuk menganulirnya.

Terdapat dua skenario yang disebut-sebut sedang disiapkan oleh Baleg DPR:

  1. Mengembalikan syarat ambang batas seperti semula, yakni 20% kursi DPRD bagi partai atau gabungan partai untuk mengusung calon.
  2. Menunda pemberlakuan putusan MK hingga Pilkada 2029.

Proses Pembahasan yang Kilat

Pada Rabu, 21 Agustus 2024, agenda pembahasan ambang batas ini direncanakan berlangsung dari pagi hingga malam. Rapat dimulai pukul 10.00 WIB, dilanjutkan dengan rapat panitia kerja pada pukul 13.00 WIB, dan ditutup dengan rapat kerja bersama pemerintah dan DPR pada pukul 19.00 WIB. Wakil Ketua Baleg, Achmad Baidowi, membantah adanya skenario untuk menganulir putusan MK, meski ia mengakui bahwa rapat ini memang akan membahas masalah syarat pencalonan di Pilkada.

Baca juga: Ridwan Kamil Deklarasi, Usung Jakarta Baru.

Pandangan Berbeda dari Anggota DPR

Pendapat mengenai putusan MK ini pun bervariasi di kalangan anggota dewan. Ledia Hanifa Amaliah dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menilai bahwa MK tidak berwenang untuk membentuk norma baru. Menurutnya, jika ada bagian dari undang-undang yang dibatalkan, MK seharusnya mengembalikan kewenangan tersebut kepada pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah.

Di sisi lain, PDIP mencurigai adanya maksud tersembunyi di balik pembahasan revisi Undang-undang Pilkada ini. Ketua Bidang Hukum DPP PDIP, Ronny Talapessy, menyebut bahwa pelaksanaan rapat dalam satu hari yang padat itu terasa janggal. Menurutnya, ada yang aneh karena Pasal 40 sudah diuji di MK, sehingga seharusnya tidak perlu lagi dibahas.

Dampak pada Pilkada Jakarta

PDIP melihat putusan MK ini sebagai peluang untuk mengusung calon mereka sendiri di Pilkada Jakarta. Dengan perolehan suara 15,65% atau 941.794 suara pada Pemilu 2024, PDIP dapat mencalonkan pasangan di Pilkada serentak, memenuhi syarat minimal 7,5%. Ini menjadi salah satu alasan mengapa putusan MK dipandang penting oleh partai berlambang banteng tersebut.

Pengamat: Pembangkangan Hukum Berbahaya

Dari sisi akademisi, pengajar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, memberikan pandangan bahwa tidak ada upaya hukum yang bisa melawan putusan MK. Ia menegaskan, jika DPR dan pemerintah merevisi UU Pilkada tanpa mengikuti putusan MK, itu bisa dianggap sebagai pembangkangan hukum, yang tentunya berbahaya bagi demokrasi di Indonesia.


Dengan dinamika yang terjadi, kita hanya bisa menunggu bagaimana hasil akhir dari rapat-rapat yang digelar oleh DPR. Akankah mereka mengikuti atau malah melawan putusan MK? Kita tunggu perkembangan selanjutnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *