Nikel Bawa Petaka ke Raja Ampat dan Pulau-Pulau Lain

Warnamudacom – Pulau-pulau indah di Indonesia timur kini menyimpan luka. Raja Ampat, Obi, Halmahera, hingga Sulawesi bukan cuma destinasi wisata dengan pemandangan bawah laut yang bikin takjub, tapi juga wilayah yang kini terancam hancur karena tambang nikel.

Kerusakan ini bukan sekadar soal lingkungan. Ada cerita warga, hutan yang hilang, laut yang tercemar, hingga hukum yang seperti tak lagi punya kuasa.


Raja Ampat Terancam, Warga Bersuara

Pada 3 Juni 2025, warga bersama Greenpeace turun ke jalan di Jakarta, menyuarakan keresahan mereka di acara Indonesia Critical Minerals Conference. Dengan teriakan “Save Raja Ampat!” dan “Papua bukan tanah kosong!”, mereka menolak tambang yang merusak tanah leluhur mereka.

Di balik protes itu, ada kerusakan nyata: lebih dari 500 hektare hutan di Pulau Gag, Kawe, Manuran, dan Waigeo lenyap. Lumpur tambang menutupi terumbu karang, merusak proses fotosintesis di laut. Nikel sebagai logam berat mencemari ekosistem laut yang menyimpan 540 jenis karang dan 1.511 spesies ikan.

Tambang ini bukan kecil-kecilan. PT Gag Nikel punya konsesi seluas 13.136 hektare, sebagian besar bahkan mencaplok laut. Sementara PT Mulia Raymond Perkasa menguasai 2.194 hektare lainnya.


Mata Pencaharian Hilang, Pariwisata Terancam

Suku Betew dan Maya yang hidup dari laut dan pariwisata kini kehilangan penghasilan. Wisatawan yang datang ke Raja Ampat mencapai 19.800 orang di tahun 2023, tapi daya tarik dunia diving ini bisa lenyap jika laut terus tercemar.

Padahal, tambang di pulau kecil sebenarnya dilarang oleh UU No. 1/2014 dan diperkuat Putusan MK tahun 2023. Tapi konsesi tetap jalan. Hukum seolah tak bertaring.


Pulau Obi dan Halmahera, Nasib Serupa

Di Pulau Obi, deforestasi mencapai lebih dari 5.500 hektare. Sungai dan air terjun yang dulu jernih kini keruh karena lumpur dan logam berat. Ikan-ikan laut mulai menghilang.

Baca Juga  Phillip Mehrtens Bebas Setelah 18 Bulan Disandera di Papua

Warga pun menderita. Dari Januari sampai Maret 2023, 520 kasus diare tercatat, tiga di antaranya meninggal dunia. Saat mereka protes di bulan Mei 2025, 11 warga adat malah ditangkap.

Halmahera pun tak lebih baik. Dalam 13 tahun, 25.000 hektare hutan raib. Sungai-sungai berubah warna, laut tercemar. Para petani dan nelayan kehilangan mata pencaharian. Protes di Maba Sangaji dibalas dengan penangkapan 27 warga.


Sulawesi Tak Luput

Morowali, Wawonii, Konawe, semua terkena dampaknya. Di Morowali sendiri, konsesi tambang nikel menyentuh 214.000 hektare. Tiga dari empat mata air di Wawonii sudah tak bisa diminum. Karang di Pulau Bahubulu tertutup sedimen, membuat ekosistem laut mati perlahan.

Konflik pun terus meletup. Di tahun 2023, 27 warga Wawonii dikriminalisasi. Di Morowali, bentrok antara warga dan aparat jadi berita biasa.


Ini Bukan Sekadar Transisi Energi

Apa yang disebut sebagai “kemajuan” ini ternyata menyisakan luka. Hutan-hutan yang seharusnya jadi paru-paru dunia digunduli. Laut sebagai sumber kehidupan justru diracuni. Dan yang paling menyakitkan, suara warga yang membela tanahnya malah dibungkam.

Pulau-pulau kecil seharusnya dilindungi, bukan dijual atas nama pembangunan. Kalau kerusakan ini dibiarkan, masa depan lingkungan dan masyarakat adat di Indonesia Timur akan sirna.

Selengkapnya dalam liputan Greanpeace.


Yuk gabung ke Channel WhatsApp Warnamuda Media dan nikmati konten seru setiap hari langsung dari HP kamu! Mulai dari artikel pilihan, berita terkini, sampai update seru dari dunia hiburan, lifestyle, dan pop culture.

Tinggalkan Balasan