Polemik Revisi UU Pilkada: DPR Tunda Pengesahan

Sidang Paripurna DPR Ditunda

Sidang paripurna DPR untuk mengesahkan revisi Undang-Undang Pilkada pada Kamis (22/08) ditunda karena tidak tercapainya kuorum. Kuorum adalah syarat jumlah minimal anggota DPR yang hadir untuk bisa mengambil keputusan. Rapat yang dimulai pukul 09.30 WIB tersebut hanya berlangsung 30 menit sebelum akhirnya ditunda karena kurangnya kehadiran anggota.

Setelah menunggu selama 30 menit, rapat kembali dibuka pada pukul 10.00 WIB, namun lagi-lagi kuorum tidak tercapai. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa sidang paripurna akan ditunda, tanpa kepastian kapan akan dilanjutkan. Situasi ini memicu spekulasi mengenai nasib revisi UU Pilkada yang sedang diperdebatkan.

Baca juga: DPR Cari Celah, Putusan MK Soal Pilkada Dipertanyakan.


Pembahasan Revisi UU Pilkada di Baleg

Sebelumnya, pada Rabu (21/08), Badan Legislasi (Baleg) DPR melakukan pembahasan revisi UU Pilkada dengan cukup cepat. Hasilnya, delapan dari sembilan fraksi menyepakati hanya sebagian dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pencalonan kepala daerah yang akan diterapkan dalam revisi UU Pilkada tersebut.

Keputusan ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk dosen pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini. Ia menyebut langkah DPR ini sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Menurutnya, jika revisi ini disahkan, maka pencalonan kepala daerah akan kembali diatur sesuai kepentingan elit politik, yang tentunya merugikan demokrasi.


Dampak Revisi UU Pilkada terhadap PDIP dan Kandidat Potensial

Salah satu dampak besar dari revisi UU Pilkada ini adalah kemungkinan PDIP tidak bisa mengajukan calon gubernur dan wakil gubernur di DKI Jakarta. Pasalnya, dengan aturan ambang batas parlemen yang baru, PDIP perlu berkoalisi untuk bisa mengajukan calon di Pilkada DKI Jakarta. Sementara itu, sebagian besar partai sudah bergabung dalam koalisi lain yang mendukung pasangan Ridwan Kamil-Suswono.

Situasi ini juga menutup peluang bagi Anies Baswedan, yang sebelumnya disebut sebagai calon potensial untuk Pilkada DKI Jakarta. Dengan keputusan ini, PDIP didorong untuk tetap mendaftarkan calonnya ke KPU, meskipun kemungkinan besar akan ditolak. Langkah ini bisa menjadi dasar bagi PDIP untuk mengajukan sengketa ke Mahkamah Konstitusi.


Kritik Terhadap DPR dan Ancaman Demokrasi Palsu

Dosen hukum tata negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, menuduh DPR melakukan “cherry picking” dalam memilih putusan MK yang sesuai dengan kepentingan mereka. Ia menyebut tindakan ini sebagai bentuk pembangkangan terhadap putusan MK dan potensi ancaman bagi demokrasi.

Senada dengan Charles, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aisah Putri Budiarti, menilai bahwa revisi UU Pilkada ini akan menghasilkan “demokrasi palsu”. Menurutnya, aturan baru ini akan semakin memperkuat politik dinasti dan oligarki, mengurangi pilihan kandidat bagi pemilih, dan pada akhirnya merugikan kepentingan publik.


Sikap KPU dan Implikasi Politik

Ketua KPU, Mochammad Afifuddin, menyatakan bahwa lembaganya sudah berkomunikasi dengan DPR terkait putusan MK. KPU mencoba menghindari kesalahan yang sama seperti pada Pilpres lalu, di mana mereka mendapat sanksi karena tidak mematuhi putusan MK.

Dalam konteks Pilkada, perubahan aturan ini dapat mengurangi peluang partai kecil untuk bersaing secara adil. Meski memiliki hak untuk mengajukan kandidat, mereka kemungkinan besar akan kalah bersaing dengan partai besar yang mendominasi dewan legislatif daerah.

Dengan demikian, revisi UU Pilkada ini tidak hanya menimbulkan polemik di kalangan partai politik, tetapi juga mempengaruhi peta politik di berbagai daerah, khususnya di DKI Jakarta. Bagaimana akhirnya revisi ini disahkan atau tidak, masih menjadi tanda tanya besar yang akan terus mengundang perhatian publik.

BATALKAN BUKAN TUNDA !

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *